Quality Time Piscong
Di suatu hari yang cerah, seekor
penguin yang nyasar dari Antartika menemukan sebuah tempat misterius: ada pohon
rindang, batu-batu bertumpuk, dan sungai kecil yang mengalir tenang. Ia duduk
manis, menikmati angin semilir, sambil ngunyah es batu yang dibawanya dari
rumah.
Tiba-tiba… “ POK! ”
Suara itu berasal dari belakang pohon.
Muncullah... Pocong!
Tapi jangan salah. Ini bukan pocong
seram. Ini pocong liburan. Ia membawa bekal tahu bulat dan teh manis dalam
termos.
“Brooo, numpang piknik dong!” katanya
sambil rebahan di rumput.
Penguin melongo. “Eh, Cong, kamu nggak
takut kering kena matahari?”
Pocong mengangkat alis (kalau dia punya
alis). “ Tenang, gua pakai sunscreen SPF 9000. ”
Lalu mereka duduk berdampingan,
ngobrolin nasib, bintang zodiak, dan betapa susahnya hidup tanpa kantong
celana.
Dan sejak itu, pohon pinggir sungai itu
jadi tempat nongkrong langka: isinya penguin, pocong, dan ketenangan yang
absurd.
***
Setelah pertemuan absurd di pinggir
sungai yang berujung cinta, Pocong dan Penguin akhirnya menikah dalam acara
sederhana namun meriah. Akad nikah diiringi suara burung camar dan tiupan angin
semilir. Saksi nikahnya? Seekor burung hantu dan batu nisan. Beberapa bulan
kemudian, lahirlah anak semata wayang mereka: Piscong, wujudnya seperti penguin,
namun tingkah lakunya lebih mirip pocong: melompat-lompat dengan kain kafan
yang menempel di tubuhnya seperti pahlawan super, dan sesekali mengangkat kedua
kaki berselaputnya seolah mengapung di udara.
Tahun demi tahun berlalu. Piscong
tumbuh jadi anak yang… ya, unik. Saat anak lain belajar berbicara, Piscong
lebih sibuk mengubah cara meluncur di salju dan belajar menyapa orang dengan
mengangkat kain kafannya seperti orang mati.
Namun, saat Lebaran hampir tiba,
situasi semakin pelik.
Pocong dan Penguin duduk sambil melipat
baju lebaran Piscong yang warnanya berubah-ubah tergantung suhu hati.
“Kita mudik ke mana tahun ini?” tanya Penguin
sambil mengelap es batu yang mulai meleleh.
Pocong meringis. “Kamu maunya ke
Antartika, aku maunya ke kuburan. Tapi… ada satu masalah.”
Masalah itu bernama: Mbak Kunti. Ibunya
Pocong. Mertua yang super galak, suara 8 oktaf, dan kalau ngomong, judesnya
bisa bikin darah Pocong beku.
“ Awas ya bawa cucuku ke Antartika!
Bisa jadi patung es tuh anak! Lebaran itu harus berziarah, bukan berenang sama
anjing laut! ” bentaknya sambil menyisir rambut panjang yang selalu basah
padahal nggak pernah keramas.
Tapi belum selesai, datang juga Pak Penguin,
Bapak Penguin, sosok yang kaku dan serius, begitu mendalam setiap kalimatnya.
“Kalau nggak pulang ke Antartika, kalian nggak usah manggil aku Ayah. Lebaran
itu harus penuh keseruan es, bukan kuburan , ” ucapnya sambil menyesap air laut
dari tempurung yang dibawanya.
Konflik makin runyam. Piscong, di sisi
lain, bikin vlog: “ 5 Tips Menyambut Lebaran Buat Anak Penguin-Pocong ”. Dia nggak
peduli drama orang tua, yang penting dapat THR dua kali, dari kuburan dan
kutub.
Akhirnya, setelah diskusi panas, saling
lempar bantal salju dan kain kafan, keluarga ini sepakat: Piscong memilih.
Dengan polos, dia berkata:
“ Aku Cuma pengin Lebaran di tempat
kita pertama kali ketemu… pinggir sungai. Di sanalah cintaku dilahirkan… ”
Semua pun terdiam. Akhirnya, mereka
sadar, bukan tempat atau tradisi yang penting, melainkan cinta yang menghubungkan
mereka.
Malam takbiran pun tiba. Piscong adzan
dengan suara yang masih bingung antara “ Allahu Akbar ” dan “ Ciuutt!! ” Namun
malam itu, cinta menyatukan dua dunia: horor dan kutub. Kuburan dan Antartika.
Pesan moralnya:
“ Tak peduli seberapa besar perbedaan
kita, atau betapa anehnya dunia yang kita jalani… bersyukurlah atas apa yang
ada, dan terimalah dengan lapang hati. Karena pada akhirnya, kebahagiaan itu
datang dari menerima segala sesuatu dengan penuh cinta. ”
Tentang penulis
Aufa Nasihat Innisa atau yang kerap di
panggil Nisya Nasihat, penulis muda yang memadukan absurditas dan kelembutan
dalam satu tarikan nafas. Ia menuturkan kisah-kisah kecil yang sering luput,
tapi menyimpan makna besar. Lewat Piscong, ia mengahdirkan tawa dan pesan moral
dalam satu bingkai cerita, jenaka, hangat dan penuh penerimaan.
Tentang ilustrator
Hendra Aditiya dan Wahyu Catur Mugi P. Dua seniman visual yang menjahit dunia kutub dan kuburan kedalam satu waktu.
Hendra, pelukis komik dengan goresan kuat,
ekspresif, dan hidup bahkan tanpa warna. Realisme khasnya berpadu nyeleneh,
menghidupkan karakter Piscong dengan imajinasi yang liar tapi terasa dekat.
Wahyu, ilustrator yang mengisi ruang
dengan kehalusan dan kepekaan. Ia mungkin tampak sebagai pelengkap, tapi justru
jadi penyeimbang penting, menyatukan absurditas menjadi visual yang nyaman,
lucu, dan utuh.
Catatan kolaborasi:
Quality Time Piscong lahir dari tawa
yang tidak di sengaja dan ide yang 'nggak masuk akal tapi masuk hati'. Karya
sederhana ini merupakan ungkapan cinta lintas batas, antara dingin dan
kesunyian, antara absurd dan makna. Sebuah pengingat bahwa dalam keluarga,
keanehan bukan halangan. Justru itulah warna kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar