“Sendunya
Sunglon (Sungguh Lonely) di Ujung Jembatan”
Di atas jembatan kayu
yang menghubungkan dua dunia: hutan yang akrab dan lembah yang asing, seekor
monyet duduk sendiri. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandangi garis cakrawala
yang menari di balik gunung.
Bukan karena ingin
meloncat. Tapi karena sedang mencari jawaban. Atau mungkin hanya ingin diam.
Ia teringat suara tawa
yang pernah mengisi hutan, jejak langkah di tanah basah saat pagi, dan
secangkir kopi kenangan yang tak sempat habis. Kini semua hening. Yang tersisa
hanya bayangannya sendiri dan waktu yang berjalan lambat.
“Hari ini sepi, ya,”
gumamnya lirih, entah kepada siapa.
Bukan karena tak punya
teman. Tapi karena teman yang dulu biasanya duduk di sebelah, hari ini sedang
tak bisa ada di sana. Dan mungkin besok pun tidak.
Tapi meski sendiri, si
Sunglon tidak sepenuhnya sedih.
Ia membuka buku kecil di
sampingnya. Bukan untuk menulis puisi, tapi untuk menggambar. Merekam apa yang
ia lihat, dan terutama: apa yang ia rasa.
Karena meski sendiri, ia
tahu—rasa itu akan menemukan jalan pulangnya. Entah lewat gambar, entah lewat
kenangan, atau... lewat hati yang pernah dipeluk diam-diam oleh
mata yang mengerti.
Sunglon menatap langit
yang mulai jingga. Ia menarik napas panjang, lalu… bersin.
“Duh, masuk angin,”
gumamnya, sambil melirik jaket yang dulu dipinjam tapi gak pernah dikembalikan.
Dari siapa? Entahlah. Bahkan monyet bisa punya utang budi.
Ia lalu berdiri,
ragu-ragu. Di satu sisi, lembah itu tampak sepi dan menyedihkan. Di sisi lain,
ada suara keresek dari arah semak-semak.
“Kayaknya ada gorengan…”
pikirnya penuh harap.
Langkahnya goyah.
Antara mencari arti
hidup, atau mengejar tempe mendoan.
“Yang penting jangan
mendoan hatiku juga,” katanya sambil cekikikan sendiri.
Ia ingat sesuatu. Buku
kecil di sampingnya terbuka, menampilkan sketsa wajah temannya—sedikit jelek
sih, tapi penuh cinta.
“Ah, ini belum selesai,”
katanya, lalu duduk lagi.
Bukan karena ilham, tapi
karena capek naik ke atas jembatan itu tadi. Dan sambil menatap cakrawala,
Sunglon akhirnya sadar…
Kadang hidup memang penuh galau.
Kadang juga penuh gorengan.
Tapi yang paling penting—ada yang bisa
dikenang. Bahkan dari hal yang tampaknya receh.
SELESAI
Pesan moralnya?
Bahkan di antara galau dan gorengan, ada
kenangan yang tak sengaja jadi abadi. Kadang yang sederhana, yang absurd,
justru yang paling bikin hangat dan lucu untuk dikenang.
Tentang Penulis
Aufa Nasihat Innisa atau yang kerap di panggil Nisya Nasihat, penulis muda yang memadukan absurditas dan kelembutan dalam satu tarikan nafas. Ia menuturkan kisah-kisah kecil yang sering luput, tapi menyimpan makna besar. Lewat Piscong, ia mengahdirkan tawa dan pesan moral dalam satu bingkai cerita, jenaka, hangat dan penuh penerimaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar